Sabtu, 22 Maret 2014

asuhan keperawatan muskuloskeletal


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang berperan dalam menunjang, melindungi, dan menggerakan tubuh. Rangka merupakan bingkai bagi struktur tubuh dan
melindungi organ internal yang rentan dari kerusakan. Otot dengan bantuan sendi, ligamen, dan tendon memungkinkan tulang rangka bergerak.
Sistem muskuloskeleta terdiri atas  :
1.      206 tulang, yang merupakan penyokong gerakan tubuh dan melindungi organ internal.
2.      Sendi yang memungkinkan gerakan tubuh dua atau tiga dimensi.
3.      Otot, yang memmungkinkan gerakan tubuh dan internal.
4.      Tendon dan ligamen, yang menghubungkan tulang dengan otot.
Sistem Muskuloskeletal merupakan cakupan Ilmu Bedah Orthopaedi. Apa yang disebut dengan Ilmu Bedah Orthopaedi sampai saat ini belum dipahami dengan benar, baik di kalangan kedokteran maupun khalayak umum. Dokter Bedah Orthopaedi dikenal sebagai spesialis bedah tulang, walaupun persoalan tidak selalu masalah tulang saja.
Sistem muskuloskeletal pada manusia adalah seluruh kerangka manusia dengan seluruh otot yang menggerakkannya dengan tugas melindungi organ vital dan bertanggung jawab atas lokomosi manusia. Lokomosi ialah pergerakan berbagai otot yang dapat menggerakkan anggota badan dalam lingkup gerakan sendi tertentu. Jadi yang dimaksud dengan sistem muskuloskeletal mencakup semua struktur tulang, sendi, otot, dan struktur terkait seperti tendon, ligamen serta sistem saraf perifer.
Maka kelainan muskuloskeletal mencakup kelainan seperti lazimnya pembagian penyakit yaitu:
1.      Kelainan bawaan.
2.      Kelainan dan penyakit yang didapat berupa:
a.    Penyakit radang dan infeksi
b.   Trauma
c.    Neoplasma
d.   Degeneratif
e.    Group miscellaneous antara lain penyakit metabolisme, penyakit postpolio,         cerebral palsy, dan sebagainya.
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab. Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga.
Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orang per tahun (Chairudin, 1998). Taruma yang dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi setelah mengalami trauma.
2.      Resiko kematian yang tinggi.
3.      Prodiktivitas menurun akibat banyak kehilangna waktu bekerja.
4.      Kecatatan sementara dan permanen.
Di masyarakat, seorang perawat atau Ners perlu mengetahui perawatan klien trauma muskuloskletal yang mungkin dijumpai, baik dijalan maupun selama melakukan asuhan keperawatan di rumah sakit. Selain itu, ia perlu mengetahui dasar-dasar penanggulan suatu trauma yang menimbulkan masalah pada sistem muskuloskletal dengan melakukan penanggulangan awal dan merujuk ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko yang lebih besar.
Resiko yang lebih fatal yang perlu diketahui adalah kematian. Peristiwa yang sering terjadi pada klien dibagi dalam tiga periode waktu sebagai berikut :
1.      Kematian dalam detik-detik pertama sampai menit berikutnya (50%).
Kematian disebabkan oleh laserasi otak dan pangkal otak, kerusakan sumsum tulang belakang bagian atas, kerusakan jantung, aorta, serta pembuluh-pembuluh darah besar. Kebanyakan klien tidak dapat ditolong dan meninggal ditempat.
2.      Kematian dalam menit pertama sampai beberapa jam (35%).
Kematian disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, hematopneumotoraks, robekan limpa, laserasi hati, fraktur panggul, serta fraktur multipel dengan resimo besar akibat perdarahan yang masif. Sebagian klien pada tahap ini dapat diselamatkan dengan pengetahuan dan penanggulangan trauma yang memadai.
3.    Kematian setelah beberapa hari ampai beberapa minggu setelah taruma (15%). Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan beberapa organ atau sepsis. Peran perawat dalam membantu mengurangi resiko tersebut cukup besar. Resiko kegagalan organ dan reaksi sepsis dapat dikurangi secara signifikan dengan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Penanggulangan klien trauma  memerlukan peralatan serta keterampilan khusus yang tidak semuanya dapat dilakukan oleh perawat, berhubung keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki setiap Ners bervariasi, serta peralatan yang tersedia kurang memadai. Trauma sistem muskuloskeletal sering tampak dramatis dan ditemukan pada 85% penderita trauma tumpul, tetapi jarang menjadi penyebab ancaman nyawa atau ancaman ekstremitas. Trauma muskuloskeletal tidak mengubah urutan prioritas resusitasi ( ABCDE ), namun akan menyita perhatian dokter, karena itu trauma muskuloskeletal tidak boleh diabaikan atau ditangani terlambat. Dokter harus menangani penderita secara keseluruhan, termasuk muskuloskeletal, untuk memperoleh hasil yang optimal.
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi.  Trauma sistem muskuloskeletal sering ditemukan pada zaman kendaraan berkecepatan tinggi seperti sekarang ini. Selain ltu insidensi trauma muskuloskeletal meningkat, sebagian besar disebabkan adanya peningkatan latihan fisik secara rutin pada masyarakat seperti joging, lari dan aktivitas olah raga lainnya. Trauma bisa akut akibat kejadian traumatik tunggal atau bisa kronis akibat efek kumulatif episode trauma ringan berulang. Trauma muskuloskeletal bermacam-macam, dari tekanan ringan pada otot sampai fraktur dengan kerusakan jaringan. Sekitar 80 persen praktek umum ortopedi diakibatkan oleh trauma sistem muskuloskeletal.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan sistem muskuloskeletal?
2.      Apakah yang dimaksud dengan trauma pada sistem muskuloskeletal?
3.      Apa dampak terjadinya trauma sistem muskuluskeletal?
4.      Apa saja prinsip umum dalam penanggulangan  trauma pada sistem muskuloskeletal?
5.      Bagaimana tindakan yang dilakukan perawat ketika menangani penderita trauma sistem muskuluskeletal yang masih di luar Rumah Sakit?
6.      Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma pada sistem muskuloskeletal?
7.      Bagaimana penatalaksanaan trauma sistem muskuloskeletal?
C.    Tujuan
1.      Tujuan Umum
Untuk Memahami secara teoritis pananggulangan trauma sistem muskuloskeletal  dan Asuhan Keperawatan pasien dengan trauma sistem muskuloskeletal.
2.      Tujuan Khusus
Untuk memahami secara teoritis   ( Defenisi, Etiologi, Patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan penatalaksanaan ) pada trauma sistem muskuluskeletal.  
Untuk memahami dan mengetahui asuhan keperawatan yang tepat  untuk  pasien dengan trauma sistem muskuluskeletal dan  Untuk  memahami tugas yang  diberikan dosen pembimbing.

BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
A.    Definisi
Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian (Depkes, 1995: 3).
Fraktur adalah setiap  retak  atau  patah pada  tulang yang utuh,  kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang (Reeves, Charlene, 2001: 248).  
 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis (Anonim, 2011).
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab. Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya benturan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.  
B.     Dampak Terjadinya Trauma Sistem Muskuluskeletal
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma tajam atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
C.    Etiologi
Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur adalah sebagai berikut:
1.      Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan,
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunakpun juga rusak.
2.      Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling
banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama pada atlit, penari
3.      Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu sangat rapuh.
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.      Cedera traumatik
                Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a)      Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan.  Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b)      Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c)      Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang  kuat.
2.      Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a)      Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
b)      Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c)      Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3.      Secara spontan :
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
D.    Prinsip Penanggulangan
Ada enam prinsip umum penanggulangan trauma sistem muskuluskeletal menurut pusponegoro A.J.(2007),yaitu sebagai berikut :
1.      Pertolongan yang aman bagi pasien
2.      Pengobatan berdasarkan diagnosis yang tepat
3.      Pengobatan yang terarah
4.      Perhatikan Laws of Nature
5.      Realistik
6.      Pertimbangan kasus per kasus
E.     Komplikasi
Komplikasi menurut Henderson (1997), Bruner dan Suddarth’s
(1995) adalah :
1.      Syok
2.      Infeksi
3.      Nekrosis vaskuler
4.      Malonian
5.      Non Union
6.      Delayed union
7.      Kerusakan arteri
8.      Sindroma kompartemem
9.      Sindroma emboli lemak
F.     Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang di lakukan pada pasien trauma sistem muskuloskeletal adalah foto ronsen.  Jenis dan saat pemeriksaan ronsen dilakukan, ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik serta  mekanisme  trauma.  Foto pelvis  AP perlu  dilakukan segera pada penderita trauma multiple dengan sumber perdarahan yang belum dapat ditentukan.  Kebutuhan pemeriksaan foto ronsen ditentukan oleh pemeriksaan klinik, adanya nyeri dan deformitas pada ekstremitas, besar kemungkinan ada fraktur.
G.    Panatalaksanaan
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi (Corwin, 2010).
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi , baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam , bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak kerugian karena waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini banyak dilakukan pada orang dewasa (Mansjoer, 2000).
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat dimobilisasi dengan salah satu cara dibawah ini:
1.        Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.
2.        Fiksasi Internal
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi (Djuwantoro, 1997).
3.        Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang (Anonim, 2010).
4.        Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut (Anonim, 2010).
5.        Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang , sehingga dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan yang sederhana : reduksi, mempertahankan dan lakukan latihan.  
Menurut (Carter, 2003) jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat dan bekuan darah akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) dan berdiferensiasi menjadi krodoblas dan osteoblas. Krodoblas akan mensekresi posfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen tulang dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.
H.    Penanggulangan Trauma Sistem Muskuluskeletal Pada Penderita Fraktur D Luar RS
Beberapara tindakan yang dilakukan pada penderita patah tulang ketika masih di luar RS adalah sebagai berikut :
1.      Jalan Nafas
Bila penderita tidak sadar, jalan nafas dapat tersumbat karena lidahnyasendiri yang jatuh ke dalam faring atau dikarenakan adanya lendir, darah, muntahan atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini, penderita dimiringkan sampai telungkup. Rahang dan lidah ditarik ke depan dan bersihkan faring dengan jari-jari.
2.      Perdarahan Pada Luka
Cara yang paling efektif dan paling aman adalah dengan meletakan kain yang bersih (kalau bisa steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan dengan tangan atau dibalut dengan verban yang cukup menekan. Torniket
3.      Syok
Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang terjadi adalah syok hemoragik. Syok bisa terjadi bila individu kehilangan darahnya kira-kira 30% dari volume darahnya. Pada fraktur femur tertutup, individu dapat kehilangan darah 1.000-1.500cc. pada fraktur pelvis, kehilangan darah dapat mencapai 2.000cc. tanda-tanda syok meliputi: a) denyut nadi 100x/menit, b) tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, c) wajah terlihat pucat atau sianotik, dan d) kulit tangan teraba dingin. Gejala lalu dapat berupa sakit (bukan gejala dominan), otot-otot lunak rasa haus, pernafasan cepat dan dalam, serta kesadaran dalam rentang normal, apatis atau koma. Cara paling baik untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah diberikan darah untuk mengganti jumlah darah yang hilang, sedangkan cairan lainnya, plasma, dextran, dan lain-lain kurang baik karena tidak mengandung sel darah yang sangat diperlukan untuk transportasi O2.
4.      Fraktur Dan Dislokasi
Fraktur dan dislokasi dari anggota gerak harus dilakukan imobilisasi sebelum penderita dibawa ke rumah sakit untuk mencegah terjadi pergeseran fragmen tulang yang lebih parah. Guna bidai selain untuk mengurangi rasa sakit juga untuk mencegah kerusakan jaringan lunak yang lebih parah. Pada fraktur atau dislokasi servikal dapat dipergunakan gulungan kain tebal atau bantalan pasir yang diletakkan di kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang cukup diletakkan di atas permukaan yang keras. Fraktur atau dislokasi di daerah bahu atau lengan atas cukup diberikan sling (mitella).
Papan yang dilapisi bantalan kapas dapat digunakan untuk fraktur lengan bawah. Fraktur femur atau dislokasi sendi panggul dapat menggunakan Thomas splini atau papan panjang dipasang dari aksila sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang sehat. Tungkai bawah dan lutut dapat dipakai papan yang dilapisi bantalan kapas dari pangkal paha sampai pedis. Untuk trauma di daerah pedis dapat di pakai bantalan kapas.
I.       Penanggulangan Darurat Penderita Trauma Sistem Muskuluskeletal Di RS
Berikut ini akan diuraikan beberapa tindakan yang dilakukan dalam penanggulangan trauma sistem muskuloskeletal di rumah sakit.
1.      Penyumbatan jalan napas dapat diatasi dengan alat hisap dan pemasangan intubasi trakeal atau kalau perlu dilakukan trakeostomi.
2.      Perdarahan luka : bila penggunaan balut tekan perdarahan masih tetap terjadi, dilakukan eksplorasi untuk mencari simbernya, kemudian di klem.
3.      Syok : tanda – tanda syok dinnilai kembali, meliputi : denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, dan tingkat kesadarannya. Jika ditemukan adanya tanda – tanda tersebut segera dilakukan pemasangan infus, diambil contoh darah klien untuk menentukan golongan darahnya. Pada syok yang berat dipasang Central Venous Pressure (CVP). Sementara menunggu darah, dapat diberikan cairan- cairan berupa glukose dan NACL, plasma atau plasma expander untuk pertolongan sementara.
4.      Fraktur / Dislokasi : perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti, karena kemungkinan masih ada daerah – daerah lain yang belum di periksa. Sering pada fraktur multipel salah satu daerah yang patah tidak terdiagnosis, karena pemeriksaan yang kurang teliti. Pada daerah yang belum dipasang bidai, sebelum dilakukan X-ray dipasang dulu bidai untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak, kecuali untuk memudahkan pembuatan foto dalam beberapa proyeksi.
Pada fraktur tertutup : ada beberapa metode pengobatan, yaitu sebagai berikut :  
a.       Hanya bersifat proteksi saja tanpa memerlukan tindakan  reposisi atau imobilisasi.
Cara ini digunakan pda fraktur yang stabil atau sedikit displacement. Kompresi fraktur dari tulang belakang, impacted frakture dari bagian proksimal humerus. Caranya : dengan mengistirahatkan anggota gerak yang cedera. Contoh pada lengan atas cukup dipasang sling. Pada anggota gerak bawah dipakai tongkat (kurk/crutch)
b.      Imobilisasi dengan external splinting ( tanpa reposisi ).  
1)      Biasanya digunakan dengan bahan – bahan gips  (plaster of paris).
2)      External splinting tanpa reposisi digunakan pada frakture yanng undisplaced.
3)      Splinting ini penting untuk memberikan imobilisasi yang baik supaya bony union dapat tercapai.  
c.       Reposisi tertutup dengan manipulasi dan diikuti imobilisasi.
Ini dilakukan pada frakture displaced. Reposisi tertutup dilakukan dengan anastesi umum, regional atau lokal. Untuk mempertahankan hasil-hasil reposisi dipakai imobilisasi plaster of paris.
d.      Reposisi tertutup dngan continous traction.
e.       Open reduction and fixation (ORIF).  
Open reduction dilakukan apabila dengan reposisi tertutup hasilnya tidak memuaskan. Contoh : fraktur intraartikuler dengan reposisi tertutup, bentuk sendi tidak mungkin dapat dengan sempurna. Hal ini dapat dilakukan tindakan ORIF.
J.      ASKEP TEORI
1.      Pengkajian
Pengkajian pada pasien trauma sistem muskuluskeletal meliputi nama, umur, pekerjaan dan jenis kelamin.
2.      Keluhan Utama
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal biasa mengeluhkan nyeri, nyeri yang sering dirasakan adalah nyeri  tajam dan keluhan semakin parah jika ada pergerakan. Meskipun demikian keluhan nyeri pada tulang biasanya tumpul dan dalam yang juga mengakibatkan gangguan pergerakan.
3.      Riwayat Penyakit
a.       Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal mengidentifikasikan rasa nyeri, kejang atau kekakuan  yang dirasakan pada saat mengalami trauma
b.      Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien atau penderita mengidentifikasikan atau menjelaskan awal terjadinya trauma sistem muskuloskeletal.
c.       Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien atau penderita menjelaskan ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejadian yang sama seperti dirinya atau tidak.
4.      Pemeriksaan Fisik
Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan yang baik. Pemeriksaan penderita cedera ekskremitas mempunyai 3 tujuan : menemukan  masalah mengancam jiwa (primary survey), menemukan masalah yang  mengancam ekstremitas (secondary survey), dan pemerikasaan tulang secara  sistematis untuk menghindari luputnya trauma  muskuloskeletal yang lain ( re-evaluasi berlanjut ). Pemeriksaan fisik pada trauma sistem muskuluskletal merupakan pengumpulan data tentang kondisi system dan kemampuan fungsional diperoleh melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran sebagai berikut :
a.       Skeletal
1)      Catat penyimpangan dari structur normal menjadi  defrmitas tulang, perbedaan panjang, bentuk, amputasi
2)      Identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi
b.      Sendi
1)      Identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau effuse
2)      Catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi
3)      Evaluasi stabilitas yang mungkin berubah
4)      Gambarkan rom baik aktif maupun pasif
c.       Otot
1)      Inspeksi ukuran dan contour otot
2)      Kaji koordinasi gerakan
3)      Palpasi tonus otot
4)      Kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan atau dengan mengukur skala criteria yaitu 0 untuk tidak ada kontraksi sampai 5 = normal rom dapat melawan penuh gaya gravitasi
5)      Ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau perdarahan atau pengecilan karena atropi.
6)      identifikasi klonus yang abnormal
d.      Neurovaskuler
1)      Kaji ststus sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu, nadi perifer, capillary refill, nyeri
2)      Kaji status neurology
3)      Tes reflek
4)      Catat penyebaan rambut dan keadaan kuku
e.       Kulit
1)      inspeksi truma injury (luka, memar)
2)      kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer)
5.      Diagnosa Keperawatan
a.       Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan            : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Kriteria Hasil : Nyeri hilang atau berkurang
Intervensi
Rasional
1.      Evaluasi keluhan nyeri, lokasi, karakteristik  dan intensitas nyeri
2.      Memberikan posisi senyaman mungkin pada pasien
3.      Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
4.    Kolaborasi pemberian analgesik.
1.      Untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan pasien
2.      Agar membantu pasien untuk merasakan kenyamanan dan mempercepat proses penyembuhan pasien.
3.      Untuk membantu pasien menghilangkan cemas dan takut yang dirasakan pasien.
4.      Membantu pasien menghilangkan rasa nyeri yang dirasakan.  
b.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
Tujuan            : Klien dapat melakukan gerak dan ambulasi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan / mempertahankan / mamperhatikan morilisasi pada tingkat paling tinggi.
Intervensi
Rasional
1.      Observasi tingkat mobilisasi.
2.      Membantu/intruksikan klien untuk latihan gerak aktif pasif pada ekstremitas yang sakit maupun yang tidak sakit.
3.      Mendekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien..
4.      Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam pemberian terapi.
1.      Untuk mengetahui rentang gerak yang dapat dilakukan oleh pasien.
2.      Meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot dan rentang gerak pasien.
3.      Membantu pasien dalam pemenuhan aktifitasnya.
4.      Membantu pasien dalam melakukan rentang gerak untuk pemenuhan aktifitas dan imobilisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Lukman. Ns dan Ningsih Nurna. 2009.  Asuhan keperawatan pada klien dengan  gangguan sistem muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Taylor .M Cynthia. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC